Kupinang Engkau dengan Hamdalah adalah ungkapan yang sering kita dengar dalam konteks pertunangan atau lamaran dalam budaya Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Muslim. Ungkapan ini mengandung makna yang dalam, menggabungkan aspek spiritual dan sosial yang mendalam.
Ungkapan “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” berasal dari dua kata: “kupinang” yang berarti “saya melamar” dan “hamdalah” yang merujuk pada “alhamdulillah” atau pujian kepada Allah. Dengan kata lain, ungkapan ini menunjukkan bahwa proses lamaran tidak hanya sekadar urusan duniawi, tetapi juga diiringi dengan rasa syukur dan pujian kepada Allah atas nikmat yang diberikan.
Melalui ungkapan ini, si pelamar mengekspresikan niat baiknya untuk menjalin ikatan suci dengan calon pasangan, disertai dengan harapan bahwa Allah memberikan berkah dan ridha dalam setiap langkah yang diambil. Ini mencerminkan bahwa pernikahan bukan hanya sebuah ikatan sosial, tetapi juga ibadah yang harus dilandasi niat yang baik dan tulus.
Proses lamaran di Indonesia umumnya melibatkan beberapa tahapan yang khas, tergantung pada adat dan tradisi masing-masing daerah. Namun, umumnya terdapat kesamaan dalam prosesnya:
- Persiapan Keluarga: Keluarga si pemuda akan melakukan persiapan untuk mengunjungi keluarga si gadis. Persiapan ini bisa mencakup pemilihan waktu yang baik, serta pengaturan barang bawaan yang biasanya berupa bingkisan atau seserahan.
- Pertemuan Keluarga: Pada hari lamaran, keluarga si pemuda akan datang ke rumah si gadis. Pertemuan ini biasanya dihadiri oleh anggota keluarga terdekat dan kerabat. Suasana biasanya hangat, diwarnai dengan percakapan dan saling mengenal.
- Pernyataan Lamaran: Setelah berbincang-bincang, si pemuda akan mengungkapkan niatnya untuk melamar si gadis dengan menggunakan ungkapan “Kupinang Engkau dengan Hamdalah.” Pernyataan ini dilanjutkan dengan permohonan restu dari orang tua si gadis.
- Penyerahan Seserahan: Setelah lamaran diterima, biasanya akan ada penyerahan seserahan, yang melambangkan keseriusan dan niat baik dari si pemuda. Seserahan ini bervariasi, mulai dari makanan hingga barang-barang simbolis lainnya.
Proses lamaran bukan hanya sekedar formalitas, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Dengan mengawali lamaran dengan “Kupinang Engkau dengan Hamdalah,” kedua belah pihak diingatkan akan pentingnya niat baik, doa, dan syukur kepada Allah.
Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah yang harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Dengan mengajak Tuhan dalam proses ini, pasangan yang akan menikah diharapkan dapat membangun fondasi yang kuat untuk kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
Restu keluarga dalam proses lamaran sangatlah penting. Dalam budaya Indonesia, keluarga dianggap sebagai pondasi utama dalam kehidupan seseorang. Ketika keluarga kedua belah pihak saling menerima, ini menjadi tanda bahwa mereka siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
Restu keluarga bukan hanya sekedar formalitas, tetapi juga memberikan dukungan moral dan emosional bagi pasangan yang akan menikah. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga.
Di era modern ini, banyak orang yang mulai melupakan atau mengubah tradisi dalam proses lamaran. Namun, penting bagi kita untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut. Melalui ungkapan “Kupinang Engkau dengan Hamdalah,” kita diajarkan untuk selalu bersyukur dan melibatkan Allah dalam setiap langkah kehidupan.
Menjaga tradisi ini bukan berarti kita terjebak dalam masa lalu, tetapi lebih kepada menghargai warisan budaya dan spiritual yang telah ada. Tradisi dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, asalkan nilai-nilai intinya tetap dijaga.
Kupinang Engkau dengan Hamdalah
Orang yang paling buruk di antara kalian ialah yang melajang (membujang), dan seburuk-buruk mayat (di antara) kalian ialah yang melajang (membujang).” (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dari Athiyyah bin Yasar. Hadis ini dha’if, begitu ‘Abdul Hakim ‘Abdats menjelaskan).
Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana, akan tetapi tidak mudah bagi saya untuk dengan tepat menjawabnya.
Saat itu akhwat kita ini mengajukan pertanyaan retoris, pertanyaan yang seolah-olah tidak membutuhkan jawaban, akan tetapi sekarang saya bisa merasakan bahwa ada hal yang diam-diam menjadi masalah.
Saya bisa merasakan, ada sesuatu yang sedang berlangsung namun tidak banyak terungkap karena berbagai sebab.
Ketika itu, akhwat tersebut mengajukan pertanyaan yang pada intinya adalah: “Apa yang menghalangi ikhwan-ikhwan itu meminang seorang akhwat?
Mengapa ikhwan banyak yang egois, hanya memikirkan dirinya sendiri?”
“Sesungguhnya,” kata akhwat tersebut, “banyak akhwat yang siap.”
Akhwat itu bertanya bukan untuk dirinya. Telah beberapa bulan ia menikah. Ketika mempertanyakan masalah itu kepada saya, ia didampingi suaminya. Ia bertanya untuk mewakili “suara hati” (barangkali demikian) akhwat-akhwat lain yang belum menikah.
Sementara usia semakin bertambah, ada kegelisahan dan kadang-kadang kekhawatiran kalau mereka justru dinikahkan oleh orangtuanya dengan laki-laki yang tidak baik agamanya.
Pertanyaan akhwat itu serupa dengan pertanyaan Rasulullah al-ma’shum. Beliau yang mulia pernah bertanya, “Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri? Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”